MAKALAH
MATERI PEMBELAJARAN FIQH:
JUAL BELI (AL-BA’I/MURABAHAH),
JUAL BELI PESANAN (SALAM DAN ISTIHNA)
Disusun Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
Materi Pembelajaran Fiqh
Disusun Oleh :
Asari
Fajar
Ima Surahmawati
Mia Damayanti
Rika Susilawati
Ujang Suhaya
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SILIWANGI BANDUNG
2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Segala puji dan puncak
kekaguman serta keagungan hanya tertuju kepada Allah SWT. Sudah tak terhitung
nikmat Allah SWT yang telah dianugerahkan oleh-NYA kepada kita, mulai dari
nikmat bernafas hingga kita merasakan betapa berharganya bernafas itu (sakit).
Lantunan sholawat dan seruan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada makhluk agung termasyhur, Manusia
Pilihan-NYA. Dialah Rasulullah SAW.
Atas pertolongan dan kasih
sayang-NYA-lah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Materi Pembelajaran Fiqh atas segala kerelaannya, kepada
teman-teman seperjuangan, dan terlebih kepada semua sumber materi. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah Materi Pembelajaran Fiqh.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
dan menyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan dan
kekhilafan. Oleh karena itu, penulis berharap kepada para pembaca, dosen
pemerhati, dan semua kalangan untuk dapat memberikan kritik dan masukan-masukan
positif yang membangun untuk kesempurnaan
kedepannya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, pemerhati, dan semua kalangan yang bersangkutan.
Aamiin.
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran
islam kita dianjurkan berhubungan dengan sesama manusia (muamalah)/
hablumminanas selain berhubungan dengan Tuhan/ habluminallah, hubungan
dengan sesama manusia berifat horizontal artinya kita membutuhkan perantara
tapi hubungan dengan Tuhan bersifat vertikal artinya langsung (direct)
tanpa perantara.
Membahas
hubungan sesama manusia kita diharuskan mempelajari etika-etika dan norma baik
yang terdapat dalam ajaran agama maupun dalam masyarakat tersebut, perilaku
muamalah tidak diperbolehkan melanggar aturan yang ditetapkan dalam agama dan
juga tidak diperkenankan melampaui tradisi masyarakat bersangkutan.
Diera modern
seperti ini muamalah sudah banyak macamnya dan bahkan Al-quran dan hadist pun
yang dijadikan sebagai rujukan dan sumber utama hukum dalam agama islam mulai
ada penafsiran dan penta’wilan suatu ayat atau hadist, contohnya hal murababah.
Murabahah
adalah salah satu produk dari lembaga keuangan syariah, diantara banyaknya
produk lembaga keunggan syariah lainnya.
Dari pembahasan
diatas penulis tertarik untuk membahas salah satun produk keuangan
syariah yaitu BA’I MURABAHAH untuk mengetahuai apa itu produk murabahah
itu, sistemnya, dan landasan hukumnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi murabahah dan ba’i as-salam?
2. Bagaimana sitem murabahah dan ba’i as-salam?
3. Apa dasar hukum murabahah ba’i as-salam?
4. Apa saja rukun dan syarat murabahah ba’i as-salam?
5. Ketentuan umum murabahah dan ba’i as-salam?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengkaji murabahah
2. Untuk mengetahui dasar
hukum, sistem dan syarat serta rukun murabahah
3. Memberikan pengetahuan baru bagi siswa dan siswi tentang murabahah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 AL BA’I/ MURABAHAH
2.1.1 Definisi ba’i /murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari
kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan)
Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal
ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya
yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan
yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus
ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Syeikh
Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka:
Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah
pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai
keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya
shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti
ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu
Qudaamah, bahkan Ibnu Hubairoh menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian
juga al-Kaasaani).
Inilah
jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun
jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya.
Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih
komplek daripada yang berlaku dimasa lalu. Oleh karena itu para ulama
kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda
sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara definisi yang disampaikan
mereka adalah:
1. Bank melaksanakan realisai
permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank)
membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank -secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan
keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang
disepakati didepan (diawal transaksi).
2. Lembaga keuangan bersepakat dengan
nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak
(dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan
tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya
kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat
tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3. Orang yang ingin membeli barang
mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana
yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual
(pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan
membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo
yang lebih tinggi.
4. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan
bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik
barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah
pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual
harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta
jumlah keuntungan yang diperoleh.
2.1.2 Sistem gambaran murabahah
Dari
definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat
didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara
dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan
menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah kepada
lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat
tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk
membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan
tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai
harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan
keuntungannya.
2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada
kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang
tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian
dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji
ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat
pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai
keuntungan dimuka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3. Pelaksanaan janji mengikat
lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami
di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak
mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat
barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
2.1.3 Landasan hukum ba’i murabahah
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
1. Al-Quran
Ayat-ayat
Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman
Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
Artinya:
"..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah
merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
Dan firman
Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن
رَّبِّكُمْ
Artinya:
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu”
(QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan
upaya mencari rezki melalui jual beli. Murabahah menurut Azzuhaili
(1997., hal.3766.) adalah jual beli berdasarkan suka sama suka antara kedua
belah pihak yang bertransaksi.
2. Assunnah
a.
Sabda
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal
(utama) adalah hasil karya tangan seseorang
dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
b.
Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari
Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ,
وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ.
(رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga
perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara
tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu
Majah).
c.
Ketika
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu
'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya",
Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik
anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
d.
Sebuah
riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan bahwa boleh
melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham
untuk setiap sepuluh dirham harga pokok (Azzuhaili, 1997, hal 3766).
e. Selain itu, transaksi dengan
menggunakan akad jual beli murabahah ini sudah menjadi kebutuhan yang
mendesak dalam kehidupan. Banyak manfaat yang dihasilkan, baik bagi yang
berprofesi sebagai pedagang maupun bukan.
3. Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan
tempat tanpa ada yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya
(Ash-Shawy, 1990., hal. 200.).
a.
Kaidah
Fiqh, yang
menyatakan:
الأَصْلُ فِِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ
يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
b.
Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia
No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang
MURABAHAH.
2.1.4 Jenis-jenis murabahah
1. Murabahah
Berdasarkan Pesanan/Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP)
Murabahah ini dapat bersifat
mengikat atau tidak mengikat. Mengikat bahwa apabila telah memesan barang
harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang
tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau
membatalkan barang tersebut.
2. Murabahah
Tanpa Pesanan
Murabahah ini
termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan
tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan
sendiri oleh penjual.
2.1.5 Rukun dan syarat murabahah
Rukun adalah suatu elemen
yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila
tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan tersebut dinyatakan tidak sah atau
lembaga tersebut tidak eksis.
Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual
(Ba'I'), orang yang membeli (Musytari), Sighat dan barang atau sesuatu yang
diakadkan.
Syarat Murabahah:
1. Penjual
memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2. Kontrak
pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3. Kontrak
harus bebas dari riba
4. Penjual
harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian
5. Penjual
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang
Harga dan keuntungan
harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan
didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis. Apabila syarat ini
tidak dipenuhi, maka murabahah tidak boleh digunakan dan cacat menurut syariat.
· Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda:
"Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama
suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)
2.1.6 Ketentuan-ketentuan murabahah
1. Jual
beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak
kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2. Adanya
kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya
lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.
3. Ada
informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga
diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah.
4. Dalam
system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin
kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu
tidak ditetapkan.
5. Transaksi
pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka
tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi
penjual kedua dengan pembeli murabahah.
6. Harus
selalu diingat bahwa pada mula murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan,
melainkan hanya alat untuk menghndar dari “bunga”.
7. Murabahah
muncul bukan hanya untuk menggantikan “bungan” dengan “keuntungan”, melainkan
sebagai bentuk pembiayaan yang diperoleh oleh ulama syariah dengan
syarat-syarat tertentu.
2.1.7 Ketentuan Umum Murabahah
a.
Jaminan
Pada dasarnya,
jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam bai’
al-murabahah. Jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak main-main
dengan pesanan. Si pembeli (penyedia barang/ bank) dapat meminta si pemesan
(pemohon/ nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis
operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang
bisa diterima untuk pembayaran hutang.
b.
Penundaan Pembayaran oleh Debitur Mampu
Seorang
nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda penyelesaian
utangnya dalam al-murabahah ini. Bila seseorang pemesan menunda penyelesaian
utang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan: mengambil prosedur hukum
untuk mendapatkan kembali utang itu dan mengklaim kerugian finansial yang
terjadi akibat penundaan.
c.
Bangkrut
Jika pemesanan yang berutang dianggap pailit dan gagak
menyelesaikan utangnya karena benar-benar tidak mampu secara ekonomi dan bukan
karena lalai sedangkan ia mampu, kreditor harus menunda tagihan utang sampai ia
menjadi sanggup kembali.
2.2 BAI’ AS-SALAM
2.2.1 Definisi Ba’i As-Salam
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha'(الإعطاء)dan
at-taslif (التسليف). Keduanya bermakna
pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyathbermakna :
dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan secara
istilah syariah, akad
salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع
موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya
dalam tanggungan dengan
imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad
pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya
Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya
dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/
untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh
ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam
didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan
barang di kemudian hari (advanced payment
atauforward buying atau future sale)
dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang
jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha
menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak
ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik
modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada
uang dari harga barang. Berdasarkan
ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan
produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.
2.2.2 Landasan Syari’ah
Landasan syariah
transaksi bai’ as-Salam terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a. Al-Quran
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan
utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan
utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang
utang-piutang dalam jual beli salam.
Dalam kaitan ayat di
atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari
ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa
salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh
Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut.
b.
Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ
-رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ,
فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ
مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa
meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda:
"Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam
takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat
Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
وَعَنْ عَبْدِ
اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ,
فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ:
وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا:
مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman
Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima
harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah
beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum,
sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa
tertentu. Ada orang bertanya:
Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan
hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).
Abdullah
bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda
pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi
Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada
masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah
mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula
bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari).
Dari
berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.
2.2.3 Syarat Jual Beli Salam
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak
yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2. Barang yang dijadikan obyek akad
disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3. Modal atau uang disyaratkan harus
jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad.
Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad
supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui
mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4. Ijab dan qabul harus diungkapkan
dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan
keduanya dari maksud akad.
Para
imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan
enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui,
banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak,
mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah
harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.
Syarat-syarat In’iqad
a. Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul,
dengan sighat yang telah disebutkan.
b. Kedua,
pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah
baligh dan berakal karena jual beli salam
merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang
yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli.
Syarat Sah Salam
a. Pertama, pembayaran dilakukan di majelis
akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan
perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah
transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam
tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b. Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak
menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim
barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan.
Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang
tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,,
atau layak dijadikan tempat penyerahan
barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.
Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan,
yaitu sebagai berikut:
a. Pertama, barang pesanan harus jelas jenis,
bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang
membedakannya dengan barang lain dan tentu
mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung
putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga
dan barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli salam. Penyebutan karakteristik tersebut sangat
perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b. Kedua, barang pesanan dapat diketahui
kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran
panjang dengan satuan yang dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan
dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran.
‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak
salam pada binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jikapembayaran
ditentukan pada waktu yang telah disepakati.Hal ini menunjukkan bahwa para
sahabat terus mengizinkan praktek penjualan di muka.
c. Ketiga, barang pesanan harus berupa utang
(sesuatu yang menjadi tanggungan).
d. Keempat, barang pesanan dapat diserahkan
begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh
diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa ba’i murabahah adalah salah satu produk dari lembaga keuangan
dimana pengetiannya adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran
atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit dan hukum dari
murabahah sendiri adalah mubah sesuai ayat alquran
"Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya
dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan
kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam
boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara
tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli
dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward
buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi,
jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati
sebelumnya dalam perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmadiryan.2013. http://ryanrahmadi99.blogspot.co.id/2013/04/makalah-murabahah.html diakses
pada Jum’at 11 November 2016
Rizkyel.2013. http://rizkyel-guaje.blogspot.co.id/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html diakses pada Jum’at 11 November 2016