Selasa, 15 November 2016

AL-BA’I/MURABAHAH, SALAM DAN ISTIHNA



MAKALAH
MATERI PEMBELAJARAN FIQH:
JUAL BELI (AL-BA’I/MURABAHAH),
JUAL BELI PESANAN (SALAM DAN ISTIHNA)
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
Materi Pembelajaran Fiqh




Disusun Oleh :

Asari
Fajar
Ima Surahmawati
Mia Damayanti
Rika Susilawati
Ujang Suhaya



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SILIWANGI BANDUNG
2016/2017





KATA PENGANTAR


       Alhamdulillah. Segala puji dan puncak kekaguman serta keagungan hanya tertuju kepada Allah SWT. Sudah tak terhitung nikmat Allah SWT yang telah dianugerahkan oleh-NYA kepada kita, mulai dari nikmat bernafas hingga kita merasakan betapa berharganya bernafas itu (sakit). Lantunan sholawat dan seruan salam  semoga senantiasa tercurahkan kepada makhluk agung termasyhur, Manusia Pilihan-NYA. Dialah Rasulullah SAW.
       Atas pertolongan dan kasih sayang-NYA-lah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Materi Pembelajaran Fiqh atas segala kerelaannya, kepada teman-teman seperjuangan, dan terlebih kepada semua sumber materi. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah Materi Pembelajaran Fiqh.
       Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan menyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, penulis berharap kepada para pembaca, dosen pemerhati, dan semua kalangan untuk dapat memberikan kritik dan masukan-masukan positif yang membangun untuk kesempurnaan  kedepannya.
       Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, pemerhati, dan semua kalangan yang bersangkutan. Aamiin.





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. 1
BAB I. 3
PENDAHULUAN.. 3
1.1 Latar Belakang Masalah. 3
1.2 Rumusan Masalah. 3
1.3 Tujuan. 3
BAB II. 4
PEMBAHASAN.. 4
2.1  AL BA’I/ MURABAHAH.. 4
2.1.1 Definisi ba’i /murabahah. 4
2.1.2 Sistem gambaran murabahah. 5
2.1.3 Landasan hukum ba’i murabahah. 6
2.1.4 Jenis-jenis murabahah. 8
2.1.6 Ketentuan-ketentuan murabahah. 9
2.1.7 Ketentuan Umum Murabahah. 10
2.2 BAI’ AS-SALAM... 10
2.2.1 Definisi Ba’i As-Salam.. 10
2.2.2 Landasan Syari’ah. 11
2.2.3 Syarat Jual Beli Salam.. 12
BAB III. 15
PENUTUP. 15
3.1.  KESIMPULAN.. 15
DAFTAR PUSTAKA.. 16




BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam ajaran islam kita dianjurkan berhubungan dengan sesama manusia (muamalah)/ hablumminanas selain berhubungan dengan Tuhan/ habluminallah, hubungan dengan sesama manusia berifat horizontal artinya kita membutuhkan perantara tapi hubungan dengan Tuhan bersifat vertikal artinya  langsung (direct) tanpa perantara.
Membahas hubungan sesama manusia kita diharuskan mempelajari etika-etika dan norma baik yang terdapat dalam ajaran agama maupun dalam masyarakat tersebut, perilaku muamalah tidak diperbolehkan melanggar aturan yang ditetapkan dalam agama dan juga tidak diperkenankan melampaui tradisi masyarakat bersangkutan.
Diera modern seperti ini muamalah sudah banyak macamnya dan bahkan Al-quran dan hadist pun yang dijadikan sebagai rujukan dan sumber utama hukum dalam agama islam mulai ada penafsiran dan penta’wilan suatu ayat atau hadist, contohnya hal murababah.
Murabahah adalah salah satu produk dari lembaga keuangan syariah, diantara banyaknya produk lembaga keunggan syariah lainnya.
Dari pembahasan diatas penulis tertarik untuk membahas salah satun produk  keuangan syariah yaitu BA’I MURABAHAH untuk mengetahuai apa itu produk murabahah itu, sistemnya, dan landasan hukumnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi murabahah dan ba’i as-salam?
2. Bagaimana sitem murabahah dan ba’i as-salam?
3. Apa dasar hukum murabahah ba’i as-salam?
4. Apa saja rukun dan syarat murabahah ba’i as-salam?
5. Ketentuan umum murabahah dan ba’i as-salam?

1.3 Tujuan  

1. Untuk mengkaji murabahah
2. Untuk mengetahui  dasar hukum, sistem dan syarat serta rukun murabahah
3. Memberikan pengetahuan baru bagi siswa dan siswi tentang murabahah

BAB II

PEMBAHASAN


2.1  AL BA’I/ MURABAHAH

2.1.1 Definisi ba’i /murabahah

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan)  Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui.   Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah, bahkan Ibnu Hubairoh  menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani).
Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:
1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank -secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).

2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
4. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.

 

2.1.2 Sistem gambaran murabahah

Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.
2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
b.
Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.

2.1.3 Landasan hukum ba’i murabahah

Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
1.    Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
Dan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan upaya mencari rezki melalui jual beli. Murabahah menurut Azzuhaili (1997., hal.3766.) adalah jual beli berdasarkan suka sama suka antara kedua belah pihak yang bertransaksi.

2.    Assunnah
a.    Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
b.    Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
c.    Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
d.   Sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan bahwa boleh melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh dirham harga pokok (Azzuhaili, 1997, hal 3766).
e.    Selain itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli murabahah ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan. Banyak manfaat yang dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang maupun bukan.

3.    Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990., hal. 200.).

a.                   Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ فِِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

b.                  Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang MURABAHAH.

2.1.4 Jenis-jenis murabahah

1. Murabahah Berdasarkan Pesanan/Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat  bahwa apabila telah memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.
2. Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh penjual.

2.1.5 Rukun dan syarat murabahah
       Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan tersebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis.
            Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual (Ba'I'), orang yang membeli (Musytari), Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.
Syarat Murabahah:
1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3. Kontrak harus bebas dari riba
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang
Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka murabahah tidak boleh digunakan dan cacat menurut syariat.
·         Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)

2.1.6 Ketentuan-ketentuan murabahah

1. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.
3. Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah.
4. Dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5. Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah.
6. Harus selalu diingat bahwa pada mula murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan, melainkan hanya alat untuk menghndar dari “bunga”.
7. Murabahah muncul bukan hanya untuk menggantikan “bungan” dengan “keuntungan”, melainkan sebagai bentuk pembiayaan yang diperoleh oleh ulama syariah dengan syarat-syarat tertentu.



2.1.7 Ketentuan Umum Murabahah

a.    Jaminan
Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam bai’ al-murabahah. Jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak main-main dengan pesanan. Si pembeli (penyedia barang/ bank) dapat meminta si pemesan (pemohon/ nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
b.    Penundaan Pembayaran oleh Debitur Mampu
Seorang nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda penyelesaian utangnya dalam al-murabahah ini. Bila seseorang pemesan menunda penyelesaian utang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan: mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali utang itu dan mengklaim kerugian finansial yang terjadi akibat penundaan.
c.    Bangkrut
Jika pemesanan yang berutang dianggap pailit dan gagak menyelesaikan utangnya karena benar-benar tidak mampu secara ekonomi dan bukan karena lalai sedangkan ia mampu, kreditor harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali.

2.2 BAI’ AS-SALAM

2.2.1 Definisi Ba’i As-Salam

Secara bahasa, salam (­­سلم) adalah  al-i'tha'(الإعطاء)dan at-taslif (التسليف). Keduanya  bermakna  pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyathbermakna : dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا).  Jual-beli  barang yang disebutkan  sifatnya  dalam  tanggungan  dengan  imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.

 

2.2.2 Landasan Syari’ah

Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a.      Al-Quran
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut.
b.      Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).
            Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari).
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.

2.2.3 Syarat Jual Beli Salam

Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2. Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3. Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4. Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.
Syarat-syarat In’iqad
a. Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah disebutkan.
b. Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam  merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli.

Syarat Sah Salam
a. Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b. Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau  layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.

Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu sebagai berikut:
a. Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang lain dan tentu  mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli salam.  Penyebutan karakteristik tersebut sangat perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b. Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran.
‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak salam pada binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jikapembayaran ditentukan pada waktu yang telah disepakati.Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus mengizinkan praktek penjualan di muka.
c. Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan).
d. Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.

BAB III

PENUTUP

3.1.  KESIMPULAN


Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ba’i murabahah adalah salah satu produk dari lembaga keuangan dimana pengetiannya adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit dan hukum dari murabahah sendiri adalah mubah sesuai ayat alquran
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.

 

DAFTAR PUSTAKA


Rahmadiryan.2013. http://ryanrahmadi99.blogspot.co.id/2013/04/makalah-murabahah.html diakses pada Jum’at 11 November 2016
Rizkyel.2013. http://rizkyel-guaje.blogspot.co.id/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html diakses pada Jum’at 11 November 2016